TENTANG SI CHIMER

Thursday, April 28, 2011

SHOLAT YANG PENTING ATAU YANG PENTING SHOLAT?



Dan ini hanyalah sebuah self note untuk diri saya sendiri yang akhir-akhir ini lalai mengerjakan kewajibannya sebagai umat muslim, Shalat lima waktu.

Bukan, bagi saya shalat bukan kewajiban. Shalat adalah sebuah kebutuhan! Pada taraf yang lebih tinggi, shalat semacam kencan maharomantis dengan sang Pencipta.

Saya mungkin masih mencapai taraf sedang, level pertengahan, shalat sebagai kebutuhan. Bukan berarti saya tidak berniat ke taraf selanjutnya – shalat sebagai bentuk cinta – hanya saja saya memang belum sampai sana. Jadi harus jujur… (setidaknya pada self note sendiri lah)



Semenjak kuliah, saya jadi sering begadang. Apalagi karena tugas jurnal yang tidak mengenal belas kasihan. Saya harus melek sampai jam 2 pagi dan tidak jarang pula sampai tidak tidur semalaman.

Selama tugas kuliah membludak, saya jadi jarang shalat Tahajud dan shalat Hajat. Padahal dulu, waktu SMA, dua shalat itu tidak pernah saya tinggalkan. Sudah menjadi sebuah kebiasaan saya membuka mata pada pukul 3 pagi, mandi, mengambil wudhu, dan shalat.

Tapi karena saya begadang terus, manalah bisa saya shalat Tahajud? Gimana bisa saya menjalankan sunnah bangun di tengah tidur lalu shalat sementara saya saja belum tidur sama sekali dari semalam?

Shalat Tahajud dan Hajat saya pun terlewat begitu saja pada semester-semester tersebut.

Wing… bagaikan debu ditiup angin… babay…

Tapi itu dulu, semester 2, 3, 4, dan 5. Menginjak semester 6 tugas mulai menunjukkan periketugasannya.
Tapi apakah saya jadi memperbaiki amalan shalat saya?

Wah, ada godaan baru nih…

Di kosan yang baru, kamar saya teramat amat sangat kecil sekali sampai dipakai shalat pun tidak cukup. Saya harus menumpang di kamar teman setiap mau melaksanakan shalat 5 waktu. Kadang harus gedor kamar Ochi, kadang kamar Kusniah, dan kadang kamar Renny. 

Saya jadi fakir tempat shalat…

Dan karena menumpang di kamar teman, shalat pun jadi tidak khusyuk. Saya kepikiran buat cepat-cepat menunaikan shalat sebelum teman yang saya tumpangi kamarnya merasa tidak nyaman dengan keberadaan saya. Alhasil, shalat saya ngebut dan di akhir shalat tidak sempat berdzikir. Apalagi baca Al Quran.
Shalat kok berasa kaya syuting film Too Fast Too Furious…

Mau shalat malam juga… plonga plongo ga ada tempat. Masa jam 3 malam saya gedor-gedor kamar orang?

Akhirnya saya memilih shalat di lorong – tempat anak-anak biasa lewat – kalau merasa sudah sepi tidak ada orang berseliweran.
Nah… asyik asyik shalat, ada anak keluar dari kamarnya mau ke kamar kecil…

Astagfirullah!!!!!!!!!!!!!!!!, serunya kaget.

Saya dikira setan… malam-malam ada putih-putih di pojokan

Berasa tambah ga bisa khusyuk shalatnya…

Saya pernah menonton DVD tentang tuntunan shalat (entah judulnya apa, sudah lupa), mereka yang lewat tepat di depan orang yang lagi shalat, dosanya sama dengan membunuh orang. 

Nah lo, kalau begitu, sudah berapa teman kosan saya yang dapat dosa membunuh orang, gara-gara saya shalat di tengah jalan dan tanpa sengaja mereka lewat?

Mantap kan saya? *antaraMerasaBerdosaDanBerasaKeren, ckck

Karena itu saya jadi sering menunda-nunda waktu shalat saya, menyempatkan waktu shalat pas kamar teman lagi available for guest. Sebelum shalat saya molor-molor… muter-muter keliling kosan cari kamar nganggur… menunggu… dan akhirnya… kelupaan!

DAHSYAT!

Dan kejadian itu ga cuma sekali dua kali…

MAMPUS!

Saat kontemplasi seperti ini, saya teringat sebuah quote dari teman-teman el save saya: Shalat yang penting atau yang penting Shalat?

Dulu, saya cenderung melakukan yang pertama, shalat yang penting. Begitu adzan, langsung ambil wudhu, dan shalat. Begitu lalai, ada yang mengingatkan dan akhirnya berjama’ah.

Sekarang saya sudah kuliah, tidak ada yang mengingatkan, dan memang seharusnya bisa mengatur waktu dengan baik. Sayangnya saya belum cukup dewasa dan malah melorot di quote yang kedua… yang penting shalat…

Biarpun telat… biarpun kadang lupa… biarpun ngebut… yang penting shalat…

Harusnya ga boleh begitu kan.

Maaf ya, Tuhan… akan saya perbaiki…

NB. Self note, sebuah pengingat akan keteledoran.

Saturday, April 23, 2011

SEBUAH PESAN: KETIKA SAYA INGIN BUNUH DIRI


Bunuh diri itu dosa, itu kata agama. Katanya orang yang mati karena bunuh diri tidak akan pernah masuk surga. Lalu orang yang mati karena sudah waktunya mati, apakah sudah bisa dipastikan akan masuk syurga?

Belum tentu juga kan?

Hidup seharusnya tidak begitu. Hidup itu bukan tentang untung rugi. Hidup ini bukan soal hitungan matematis seperti dalam perdagangan.

Hidup itu bukan aritmatika.

Yang bisa seenaknya ditentukan siapa masuk mana dan kenapa masuk sana.

Dan, ya, saya akui, kadang-kadang saya juga ingin bunuh diri. Walau kemudian hanya sampai selintas pikiran tanpa realisasi yang memadai. Keinginan itu seringkali terlintas ketika segalanya menjadi rumit.

Bagi kalian yang belum pernah merasakan badai seperti itu, kalian harus bersyukur karena itu tandanya kalian sangat beruntung. Tapi tak ada salahnya juga kalau kalian memahami bagaimana rasanya ketika seseorang ingin mengakhiri hidupnya.

Rasanya seakan semua udara ditakdirkan untuk tidak berada di sekitarmu. Seperti kau terpenjara pada ruang kedap tanpa ada yang mendengar teriakanmu. Seakan sesorang mencengkeram erat jantungmu dan serpihan jarum keluar dari dalam sana. Susah bernafas dan merasa sangat tercekik. Rasanya seperti senyum adalah bukan bagian dari dirimu. 

Mungkin tidak akan ada rasa sakit yang jauh lebih hebat dari itu semua, bahkan neraka sekalipun.

Kau berjalan, makan, dan melakukan segala hal tanpa tahu apa tujuan akhir dari segalanya. Kau merasa tidak berharga, tidak pantas bahagia, dan tidak akan ada yang perubahan seandainya kita mati sekalipun.

Saat-saat kelam itu meledak, kau akan butuh distraksi… sebuah pengalihan dari rasa sakit tak kasat matamu.

Kamu butuh terluka, secara fisik kalau perlu. Karena hanya dengan demikian segalanya akan nampak sedikit lebih lapang di dalam. Kamu akan merasa luka fisikmu adalah pengalih yang sempurna. Sebuah pelarian yang menakjubkan sekaligus mengerikan.


Tidak jarang bukan kita menemukan mereka dengan sayatan silet di pergelangan tangan? Atau orang dengan tato dan tindik yang jumlahnya tidak masuk akal berkeliaran di sekitar kita? Mereka yang seperti itu, suka rasa sakit secara fisik, karena luka fisik mengalihkan perhatian mereka dari luka yang terjadi di dalam.

Untungnya… saya masih belum menato atau menindik tubuh saya. Soalnya orang yang bertato (katanya) susah kalau melamar kerja *melantur

Tapi sebenarnya tulisan ini bukan tentang saya dan kenapa tubuh saya belum ditato atau ditindik. Ini tentang seseorang, teman lama saya.

Saya pernah memergoki seorang teman SMP saya melakukan itu. Saat itu pelajaran kosong dan ia duduk di bangku yang paling belakang, merapat ke tembok, dan kemudian menyayat pergelangan tangannya dengan sebuah silet. Disana sudah banyak bekas sayatan lainnya yang sudah mengering.

Ketika saya tanya, kenapa ia melakukan itu, ia hanya tersenyum.

Rasanya menyenangkan, melegakan, begitu dia menjawab. Dia mengaku sering melakukan itu tanpa benar-benar berusaha memotong pergelangan tangannya.

Saya waktu itu masih terlalu polos untuk mengerti perkataannya dan membiarkannya begitu saja.

Sebut saja kawan saya itu bernama Lestari (sebelumnya kan sudah BUNGA dan sudah CITRA, sekarang pakai LESTARI saja). Lestari adalah salah satu cewek populer di sekolah karena sifatnya yang nyentrik dan easygoing. Saya dan Lestari cukup dekat sampai saya mengetahui bahwa ia suka merokok di belakang sekolah, menghabiskan malam dengan mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan kadang masih fly ketika di sekolah.

Tapi saya yang waktu itu masih berusia 13 tahun masih belum mengerti itu semua. Saya tetap berteman dengannya – walau begitu saya menjaga jarak sejak memergokinya hobinya tersebut. Saat itu yang terlintas dalam pikiran polos saya, anak semacam itu sebaiknya dihindari.

Intinya kami terus berteman sampai lulus SMP. Dan begitu masuk SMA, komunikasi kami terputus begitu saja. Padahal seingat saya – terlepas dari kebiasaan buruknya – dia anak yang sangat baik, setidaknya pada saya, yang kutu buku, dan kuper.

Kabar terakhir yang saya dapatkan, Lestari berusaha membunuh dirinya dan kemudian dilarikan di rumah sakit. Saya mendapatkan kabar tersebut dari kawan-kawan SMP yang lain.

Sayangnya sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Dan entah ia sekarang tinggal di mana. Sepertinya dia pindah ke luar kota.

Dalam lubuk hati, saya merasa sangat menyesal. Seharusnya dulu saya tidak menghindarinya dan mungkin dulu ia hanya butuh didengar, bukannya diabaikan. 

Saya ingin merestart ulang hidup saya dan memperbaiki segalanya. Namun hidup itu tidak seperti barang elektronik layaknya laptop dan komputer yang bisa sebegitu mudahnya di-restart dan kalau kena virus bisa langsung di install ulang.

Saya tak akan bisa merubah itu semua. Namun, mungkin jika suatu hari saya bertemu lagi dengannya, saya harap saya bisa memberikan senyuman terbaik saya dan berbincang-bincang dengan ketulusan seorang sahabat.

Semoga mendapatkan kebahagiaan yang kau inginkan, Lestari. Semoga kau bisa mengendalikan hidupmu dan bukannya dikendalikan olehnya. Mungkin itu sulit tapi saya ingin kamu mencoba.

Tuesday, April 19, 2011

OTAK BELI DISKONAN AKHIR TAHUN



Suatu kejadian pada jam 2 sore dalam komunitas geng Jelita atau yang biasa disingkat dengan GeJe…
Oci: Beuh, lama bener mandimu! 
Saya: *lagi nadah air lama dari keran* airnya lagi kecil nih, Chi… *kemudian cebar cebur lagi meneruskan mandi*
Lima belas menit kemudian saya keluar dengan tampang segar setelah mandi setengah siang setengah sore. Ya ya tahu… kalian mau nuduh saya mandi sehari sekali kan! Mentang-mentang saya mandinya di jam yang nanggung, jam 2 sore?

Hum, saya bukannya malas mandi kawan… saya ini pecinta lingkungan…

Kalian tahu betapa limbah sabun turut serta dalam mencemari lingkungan? Saya ini mempromosikan go green melalui cara terdekat yang mampu saya lakukan,yakni the way of my life saya yang hemat dalam mengkonsumsi air bersih, sabun, pasta gigi, dan sampo. Jadi jangan salah sangka kawan-kawanku tercinta *poor denial*
Intinya, saya keluar dari kamar mandi dan bertemu dengan Renny yang sudah mandi lebih dulu dari saya. Sungguh dia sangat rajin mandi, pasti banyak limbah sabun yang dia hasilkan, dasar perusak lingkungan, ckck…

Renny: Mandinya lama bener? 
Saya: Airnya kecil toh? 
Oci: *berteriak dari dalam kamar mandi* Mana? Gede gini lho ! 
JROOOOSSS !!!, suara air menyembur keluar dari kran sangat kencang. 
Saya : *melongo* Lho kok ? 
Mbak Ajeng: *menyahuti dari dalam kamar* Emang uda gede dari tadi kali keluarnya! 
Renny: *manggut2* Iya, emang daritadi gede kok airnya!


JEDER!!!
Nah ya… jadi ceritanya, sebelum saya mandi, Mbak Ajeng dan Renny mandi duluan. Setelah Renny mandi, ia meneriaki saya supaya mandi karena polusi udara sudah waktunya mandi. Ketika saya masuk kamar mandi, air keran sudah kecil.

Dan otak kecil saya melakukan analisis ekstra panjang ketika melihat fenomena tersebut. Efek dari tugas jurnal kampus yang menumpuk…

Oh, siapa yang habis mandi? Renny. Jadi kenapa kerannya terus nyala ? Oh, pasti karena airnya keluar kecil jadi sama Renny dinyalakan terus supaya baknya penuh. Ya sudah, saya akan mandi hemat air saja. Sepuluh gayung cukup. Kasihan Ochi yang sudah ngantri kepingin boker.

Dan saya pun mandi… sangat lama… nadah air dari kerannya…

Kejadian yang sebenarnya adalah…

Renny habis mandi dan sengaja airnya dinyalakan kecil karena tahu saya bakal menerima tongkat estafet mandi selanjutnya. Yah, sesederhana itu dan pikiran saya sudah berjalan kepanjangan…

Hum, saya ini memang pemikir panjang. Satu fenomena saja saya bisa menganalisanya sampai berbunga-bunga. Efek positifnya, saya selalu mampu menghadapi segala kemungkinan. Efek negatifnya… saya kebanyakan mikir sampai tidak segera jalan…
Begitulah saya apa adanya.

Dan ketika HeartChime ini ganti baju – I mean, digantikan baju oleh Anin, sobat saya sekaligus senpai blogger saya – saya mengirimkan alamat email saya beserta passwordnya ke dia. Dan seakan butuh legitimasi lebih untuk memproklamirkan betapa otak saya perlu digetok palu, saya keliru tulis alamat email, sampai Anin kesusahan log in.

Haha, maaf, Nin, waktu balas sms saya sedang guling-guling dengan tumpukan jurnal tugas cosmopolitan saya dan berpikir bagaimana caranya jurnal-jurnal ini terselesaikan dalam waktu 15 menit *ngayal

Anin ngatain saya “tempe penyet”…

Saya ngatain diri saya sendiri “otak beli diskonan akhir tahun, sisa ekspor, standarisasi agak di bawah rata rata, tapi lumayan, masih bisa dipake, daripada ga punya otak sama sekali?”

Hum, akhir kata, saya ucapkan terima kasih pada Anin atas baju barunya. Jangan lupa sering-sering buatkan saya baju baru, celana baru, bra baru, dan juga cowok baru.

Salam dari pemilik blog yang so(k) seksi,
Muah muah :*

Monday, April 18, 2011

SAYA MUAK JADI TEMPAT SAMPAH DAN MUAK NYURUH KAMBING NGEPEL LANTE KAMAR MANDI



Hm… entah harus kemana lagi saya harus terapi kejiwaan selain di blog ini???

Kenapa harus ke Heartchime?

Ya iyalah, kan Heartchime “rumah” saya – tempat hati saya nggerundel ga jelas. Tapi karena pingin kelihatan keren saja saya namai HeartChime – gumaman Hati – padahal maknanya sama… nggerundel… membuang “sampah” tanpa bermaksud menciptakan sampah baru.

Kedua, hello… lo pikir berapa ongkos ke terapis kejiwaan? Mending gue curcol di HeartChime, gratis… modal modem pinjem mbak Lucky.

Ketiga, maan… daripada duitnya gue pake beli diazepam (obat penenang orang depresi) mending gue pake beli modem. Capek juga nih nunggu pinjeman modem teman nganggur…

Keempat, kalopun gue mau ke Menur, malas tahu harus oper-oper angkot segala!

Kelima, kalau saya harus curhat ke teman saya, kadang saya kasihan dengan mereka karena harus dengar saya marah-marah. Lagian saya memang kurang begitu suka melihat orang “buang sampah” melampiaskan diri pada teman-temannya melalui perbuatan yang tidak etis dan kata-kata menyakitkan.




Maan, Saya sedang lelah dijadikan tempat sampah nih…

Saya cape dijadikan antagonis dari kehidupan kakak saya yang membosankan datar.

Saya juga cape setiap kali mami memaksa saya jadi anak yang diharapkan. aku tahu ku tak kan bisa... menjadi sperti yang engkau mintaaaa... namun selama... nafas berhembus... aku kan mencobaaa... 

OKE STOP!

Saya cape diomeli atas sesuatu kesalahan yang bukan saya penyebabnya.

Saya selama ini diam cuma karena ga mau bikin mereka depresi karena “tidak punya tempat sampah”. Namun kadang-kadang “tempat sampah” pun bisa full dan tumpah ruah, jadilah ledakan kemarahan hasil akumulasi dari yang lalu lalu.

Kalau sudah begitu, saya dikatain sensi…

Yee, lu aje yang suka buang sampah sembarangan, ga peduli perasaan orang lain. Yeah, mungkin bagimu kamu adalah pusat tata surya yang mana semua planet mengorbit padamu. Semua masalah berada di pundakmu dan kamu adalah orang paling menderita di dunia ini.

Tapi, maaan… hari gini lu masih tutup mata dari dunia sekitar ?



Tahu ga ada berjuta-juta umat manusia jauh lebih menderita daripada lo. Cape deh ngurusin lo,,,

Nyuruh lo buka mata sama dengan nyuruh kambing ngepel lante kamar mandi.

Tuesday, April 12, 2011

SATU GENK GEJE MELEPAS MASA LAJANG

Salah satu genk geje akhirnya menikah, Wanda Kirana, salah satu kawan saya yang menggila. Dialah yang pertama kali menjejakkan kakinya pada kehidupan berikutnya, meninggalkan yang lainnya.

Saya merasa turut bahagia sekaligus sedih.

Bahagia karena dia berjalan jauh lebih jauh dari saya dan sedih karena bahkan saya sendiri masih sangat jauh darinya. Intinya adalah, sudahlah, jangan pedulikan saya. Mari kita bantu doakan Wanda supaya hidupnya penuh dengan berkah. Amin…

Ini fotonya, sayangnya, dia lagi merem, padahal dia cantik malam itu dengan kebaya merah jambunya yang ngejreng tak terkira.


Saya yang mana? Saya tentu saja yang paling seksi memakai baju cokelat keemaasan batik. Itu kali pertama saya pakai make up, yang memakaikan kakak saya - yang memakai dress abu-abu selutut. Hm, begitu pulang, maskara saya mbleber kemana-mana. Wah, indah sekali… *kisinan

Awal, keberangkatan kami sudah heboh memikirkan urunan untuk kado pernikahan, lalu heboh mau pakai baju apa dan dandanan apa. Mau berangkat, eaaa hujan, beuh… manggil taksi, mahal gila!

Yeah, finally, kaki geng Geje pada gempor karena pakai heel, demi kelihatan seksi pas dipoto.

Pesan saya, Nek (panggilan akrab Wanda), sering-seringlah main ke kosan kita walau sudah sibuk sekalipun.
Kedua, jangan lupa rice cooker pink pemberian kami dirawat baik-baik. dan kalau kau tidak suka modelnya salahkan Luckymart karena dia yang memilihkannya *laridaritanggungjawab :p
Dan, oh ya, Nek, soto di rumahmu kok dikasi dikit? Saya (kusnayah dan lovu beam) kan belum kenyang, wkwk…


TUHAN, SAYA TAKUT MENJADI WARAS





Jika orang lain merasa takut jadi gila, saya justru merasa sebaliknya. Bagi saya, hidup itu harus dijalani dengan menjadi orang gila agar bisa bertahan dari gilanya dunia.

Ada banyak hal di dunia ini yang sangat buruk sehingga kadang saya merasa dunia sudah waktunya dihancurkan dan dibumihanguskan, menjadi debu. Namun saya masih juga (berusaha) percaya bahwa masih ada kebaikan di dunia ini yang patut untuk dipertahankan.

Dan alasan yang kedua lah yang membuat saya terus bertahan di sini, terjebak di antara nyata dan maya. Antara sadar dan alam mimpi. Saya kadang sengaja berjalan dengan mata tertutup dan membayangkan imaji bermain di otak saya. Sesekali saya akan membuka mata dan menatap realita yang ada. Kemudian menutup mata lagi… dan kembali berjalan…

Saya masih manusia, begitu pikir saya, ketika saya merasa sakit. Saya senang, rasa sakit membuat segalanya menjadi terasa “nyata”.

Mungkin ini yang disebut dengan phobia kebahagiaan.

Ketika saya merasa kebahagiaan yang meluap, saya merasa sangat takut. Saya takut apa yang saya rasakan ini hanya halusinasi. Saya takut saya hanya bermimpi dan ketika membuka mata saya akan dihadapkan oleh sesuatu yang jauh lebih buruk.

Reaksi seperti ini muncul, misalnya, ketika novel perdana saya diterbitkan. Pada umumnya seseorang akan merasa sangat bahagia atas prestasinya tersebut. Namun saya tidak demikian. Sejujurnya, saya merasa sangat takut ketika itu. Saya menghilang dari jejaring facebook selama berita itu sedang hangat-hangatnya. Saya merasa sangat takut, entah dengan alasan apa, saya tidak memahaminya dengan baik.

Dan apakah kamu masih ingat tulisan saya yang lalu, berjudul MASOKIS TINGKAT AKUT?

Di sana saya berjanji akan belajar menjalani hidup, menerima kenyataan dan berusaha mengobati luka-luka saya.

Tapi bukankah jalan keluar semua masalah di dunia ini sebenarnya sangat sederhana,  hanya saja begitu sulit dijalankan?

Mengatakan tidak semudah menjalankannya. Itulah yang terjadi pada saya saat ini.

Dalam perjalanan, ketika saya memunculkan kembali memori-memori buruk saya di masa lalu, dan mencoba menerimanya. Dada ini terasa sakit dan kerongkongan saya seperti tercekik. Rasanya sedemikian sakit sampai saya harus meremas dan memastikan bahwa jantung saya masih berada di tempatnya, berdetak, dan saya masih dalam keadaan “ada”.

Yang sebenarnya, saya takut menjadi waras…
Saya takut kalah ketika saya harus berhadapan pada kenyataan yang ada, saya tidak mampu bertahan.
Ini seperti peperangan melawan musuh terberat, diri saya sendiri.

Kemarin Tuty berkomentar, setelah membaca dua novel saya yang terakhir, dia bilang:

kenapa kamu selalu ingin menularkan kegelapanmu pada semua orang? Tidakkah kamu ingin membuat orang lain bahagia setelah membaca tulisan-tulisanmu? Kamu curhat di novelmu, kamu sadar?”

Saya sangat tertohok dengan kata-katanya. Yang membuat saya tertohok adalah… saya baru sadar bahwa yang dikatakannya benar.

Saya melarikan diri melalui fiksi, saya menutup mata, dan bermain-main dalam fantasi. Dengan kata lain, tanpa sadar saya telah membuat diri saya kehilangan kewarasan. Saya sangat sedih dan jantung ini seakan semakin seperti diremas-remas.

Saya ingin waras di lain pihak, saya juga merasa takut. Saya takut ketika saya waras, saya tidak mampu bertahan. Dan mungkin rasa sakit yang saya coba lupakan selama ini akan menjadi semakin luar biasa hebat, terakumulasi sejak awal saya mengabaikannya.

Saya pernah congkak dengan mengatakan saya mati rasa, saya tidak punya hati untuk disakiti, bahwa saya selalu mampu bertahan. Pada kenyataannya saya rapuh dan hanya berpura-pura “baik-baik saja”.

Saya munafik.

Mungkin ketika Tuty sedang berjalan-jalan di blog saya dan tanpa sengaja membaca tulisan ini saya ingin sekali mengatakan terima kasih padanya. Dan ya saya mengakui kemunafikan saya.

Saya percaya setiap orang selalu mencari media untuk menyalurkan rasa sakitnya. Kakak saya, misalnya, dia suka melihat saya menderita karena itu membuatnya merasa lega – bahwa satu sisi, dia lebih beruntung dari seseorang, yaitu saya, adiknya. Atau Renny, misalnya, ia suka mengumpat dan menggerutu, hanya untuk menyalurkan rasa kesalnya.

Begitu pula saya, saya menyalurkan rasa sakit saya melalui tulisan-tulisan saya.

Ini lah apa yang saya sebut dengan TRANSFER RASA SAKIT.

Saya tidak memilih makhluk hidup yang berhati seperti kakak saya untuk dikerjai, saya juga tidak membiarkan saya berekspresi bebas seperti Renny, namun saya memilih menulis.

Sayangnya, adalah… ketika saya pikir menyalurkan rasa sakit jauh lebih baik dilakukan pada medium tak bernyawa, seperti tulisan, saya kemudian sadar… saya tidak lebih baik dari Kakak saya dan Renny.

Medium yang saya gunakan tak hanya mempengaruhi satu orang, ia mampu mempengaruhi banyak orang. Karena saya menuliskannya, dan semua orang membacanya!

Saya tahu selama saya masih bernafas, saya pasti menyakiti lainnya, baik itu melalui tulisan-tulisan saya, atau perkataan saya atau perbuatan saya.

Untuk itu saya memohon maaf karena saya harus menjadi egois…

Tapi bukankah menyakiti dan tersakiti adalah fase yang tidak terelakkan dalam kehidupan?

Justine – boneka Teddy Bear – dan Woopie – ikan cupang perliharaan – mungkin teman curhat yang baik. Mereka mendengar tanpa sekalipun menghakimi. Mereka menerima dan tidak akan pernah menolak saya. Tapi, Tuhan, mungkin hanya kamu teman curhat saya yang terbaik, kamu tak hanya menerima dan mendengarkan saya, kamu juga memahami.

Kamu tidak pernah menolak saya hanya karena saya menjadi diri saya yang sekarang.

Dan bagi saya saat ini, itu sudah lebih dari cukup…

Friday, April 8, 2011

PERMAINAN BAMBU (TANPA M) GILA

“Akan ada saatnya kamu belajar, teman... hari ini waktunya saya belajar, oleh karenanya kamu tidak mengerti saya. Suatu ketika, ketika pelajaranmu dimulai, kamu akan mengerti perasaan saya.” (saya, pada suatu ketika)

Kalian masih ingat tulisan saya sebelumnya yang berjudul I Hate You??

Di sana saya menceritakan mengenai pembantu kosan saya yang tidak sopan dan mengatai saya PENCURI.

Ngomong-ngomong soal Mistiyah, dia masih mengarahkan manuvernya pada saya. Pagi ini kosan kotor, dia banting-banting barang di depan kamar saya. Waktu itu saya lagi dzikiran habis shalat shubuh. Dia ngomel-ngomel dikiranya saya yang sengaja bikin kotor. Suaminya mengancam mau nyiram Porstex ke cucian saya.

Saya jadi bingung, kenapa dia harus marah kalau kosan kotor? Justru karena kotor itu kan, mereka dipekerjakan?

Ah, lagi-lagi saya dianiaya dua B-A-B-U  gila…

Semalam dia matikan lampu lantai dua karena Lantai Dua nonton Bridgen Norman di Empat Mata dan ramai. Kebetulan saya di kamar, ga ikut nongkrong, lagi main laptop tanpa dipasang baterai dan… MAK DET !

MAMPUS !

Memangnya kalau laptop saya rusak, mereka kuat ganti???

Kenapa ada orang yang seperti itu ya…

Tuhan bilang semua manusia itu sederajat di Mata-Nya. Hanya amal ibadah saja yang akan dihitung. Namun kenyataannya di dunia ini ada yang namanya Kelas dan Derajat, bukan?

Saya memandang itu semua sebagai cobaan.
Bagaimana agar kamu – yang derajatnya atau kelasnya lebih tinggi – mampu menghargai mereka yang kurang beruntung. Bagaimana kamu bisa belajar menahan dirimu untuk menyakiti orang lain hanya karena dia lebih lemah darimu.

Namun kalau begini ceritanya, saya jadi bingung sendiri, bagaimana mungkin mereka yang derajat dan kelasnya lebih rendah dari saya (Mistiyah dan suaminya-red) bisa seenaknya menginjak anak-anak kosan yang derajatnya lebih tinggi.

Yang pasti ini bukan salah Tuhan kan?

Menurut saya, ini salah mereka yang mau diinjak-injak. Tuhan memberi mereka kelebihan namun mereka tidak belajar menggunakannya dengan baik.

Saya sih melawan, belajar menggunakan derajat dan kelas saya. Anak-anak kosan masih cari aman, tidak mau berurusan dengan Mistiyah. Ya sudah… emang sudah nasib mereka diinjak-injak babu berarti. *jahatAbis

Yah, hidup adalah pilihan kan? Biarkan saja…

Teman terdekat saya Citra (sebut saja begitu) bilang daerah abu-abu hanya akan menyakitimu lebih dalam, belajarlah memilih!
Dan saya pun memilih tidak mau lagi menurunkan derajat saya di depan Mistiyah.

Sebenarnya bukan itu masalah sebenarnya…

Biarpun Citra (sebut saja begitu) bilang seperti itu, dia sebenarnya masih membela Mistiyah.

Saya dan Citra (sebut saja begitu) sangat dekat sekali. Bisa dibilang hubungan kami sudah seperti saudara sendiri, saking dekatnya, kami sampai sering dikatai LESBI.

Nah, ya…

Kenapa dengan hidup saya ya ?

Ada yang ngatai saya PENCURI, LESBI, KENA LEUKIMIA, ATAKSIA, dan bla bla bla…

Hm, sepertinya saya punya bakat membuat hidup saya jauh menderita dari kebanyakan orang, haha… *ketawaGila

Citra (sebut saja begitu) pernah berkata bahwa saya bukan sekedar sahabatnya melainkan saudara perempuannya dan saya juga menganggapnya demikian. Dia sudah seperti kakak bagi saya. Dia mengajari saya banyak hal tentang mengatasi masalah bukan lari darinya. Saya dan dia… ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Kami saling menguatkan keberadaan yang lain.

Pernah ketika Citra (sebut saja begitu) dapat masalah, saya membela mati-matian. Saya tidak peduli apapun karena bagi saya Citra (sebut saja begitu) sudah seperti saudara sendiri.

Kali ini ketika Mistiyah jelas-jelas menfitnah saya, dia tidak melakukan apapun.

Bukannya saya ingin Citra (sebut saja begitu) meracuni makanan Mistiyah atau apa.

Saya hanya ingin didukung ketika saya dalam kesulitan.

Tapi nyatanya, dia masih saja bicara dengan Mistiyah… beramah tamah…

Ketika saya tanya kenapa dia bisa begitu, Citra (sebut saja begitu) menjawab dengan dingin: 
Itu masalahmu dengannya, bukan masalahku. Aku tidak punya alasan untuk tidak bicara dengannya, untuk tidak membalas sapaannya (Mistiyah-red).
Mistiyah, setelah malam pertengkaran, menangis berkeliling kosan lantai satu-dua-tiga dan menceritakan bahwa saya melabraknya. Mencari simpati ke seluruh penjuru dunia agar mereka ikut memandang saya dengan jijik. Mistiyah mengatai saya pencuri, kasar, ga tahu sopan santun dan lain sebagainya.

Dan bukankah dalam persahabatan ada yang namanya timbal baik?

Saya tidak berharap banyak. Saya hanya ingin teman terdekat saya berada di sisi saya, bukannya di sisi lain. Saya hanya ingin dia menguatkan saya dan bilang bahwa semua akan baik-baik saja.
Namun mungkin saya terlalu baik untuk itu semua. Mungkin saya terlalu tinggi memandang Citra (sebut saja begitu) dan berharap lebih.

Mata saya mbrabak di kamar Kusniah ketika Citra (sebut saja begitu) berkata bahwa ini urusanku dengan dia, bukan urusannya. Seluruh genk geje berkumpul. Menghibur saya semampunya.

Mereka bilang saya harus belajar menerima pilihan hidup orang lain walau itu terlihat sama sekali tidak logis.

Dulu – sebelum malam pelabrakan – Citra (sebut saja begitu) pernah dimanfaatkan Mistiyah untuk mengakui hal-hal yang tidak dilakukannya. Citra (sebut saja begitu) adalah orang yang suka membantu, ketika ia melihat Mistiyah (terlihat) kesulitan, ia bersedia membantu tanpa berpikir panjang. Saya yang menyaksikan itu semua, menahan Citra (sebut saja begitu) untuk membantunya, saya memarahinya, saya berkata untuk tidak lagi terlalu dekat dengan Mistiyah.

Yah, Genk Geje mengingatkan, selama ini saya sangat sering menahan Citra (sebut saja begitu) setiap ia akan melakukan langkah yang salah. Saya jadi tampak tidak menghargai pendapatnya, pilihannya. Itu sebabnya kini dia muak dengan peringatan saya… (sebab dia tidak pernah terjatuh)

Kadang kamu harus membiarkan orang yang kausayangi terjatuh untuk membiarkannya belajar…

Mbak Ajeng dan Kusniah memprediksi mungkin hubungan Citra (sebut saja begitu) dan Mistiyah sudah sangat dekat sampai saya – yang notabene sahabat terdekatnya – terabaikan. Yah, Citra (sebut saja begitu) pernah memberi Mistiyah ponsel. Mungkin memang begitu.

Dan mungkin bagi Citra (sebut saja begitu) saya bukan benar-benar saudara perempuan seperti yang pernah dia katakan, mungkin saya hanya overekspetasi saja. Sebab kalau benar dia menganggap saya saudaranya,

apakah dia tidak akan marah ketika ibunya, bapaknya, masnya, dikatai PENCURI oleh babu?

Mbak Ajeng – salah satu tetua Geje – menyarankan balas dendam (yah, orangnya memang seperti itu -_-“). Suatu ketika jika Citra (sebut saja begitu) mengalami masalah, saya harus melakukan hal yang serupa seperti ini.

Mengabaikannya.

Namun baru membayangkannya saja… saya sudah menyerah.
Saya tidak bisa melakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan Citra (sebut saja begitu) pada saya saat ini. Saya tidak akan mampu. Baru membayangkannya saja saya sudah tidak mau.

Mungkin saya bodoh… mungkin saya masokis…
Ah, terserah deh…

Saya kembali mengajak Citra (sebut saja begitu) berbaikan kemudian keesokan harinya.

Tapi masih saja Citra (sebut saja begitu) menyalahkan saya.“Kamu dulu yang mulai berantemnya.” Katanya tajam.


Saya hanya tersenyum padanya dan berkata, “Akan ada saatnya kamu belajar, teman... hari ini waktunya saya belajar, oleh karenanya kamu tidak mengerti saya. Suatu ketika, ketika pelajaranmu dimulai, kamu akan mengerti perasaan saya.”

“Apa? Kamu merencanakan balas dendam?” 
Saya menggeleng. “Kalaupun pembalasan memang diperlukan, saya pastikan, itu bukan dari saya.”

Thursday, April 7, 2011

POKERFACE



Saya rasa kebanyakan teman-teman tahu lagu Lady Gaga yang berjudul serupa. Pokerface… wajah seorang pemain poker. Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wajah yang datar, tidak berekspresi, sehingga orang lain tidak bisa membaca kartu yang didapatnya, baik atau buruk.

Pokerface ini juga terjadi pada beberapa orang yang bahkan tidak bisa bermain poker sedikitpun, termasuk…

SAYA.

Suatu ketika, saya masuk ke salah satu kamar teman saya dan memandangnya agak lama. Teman saya balas memandang saya dan keningnya berkerut-kerut.

“Jangan ngeliatin begitu kenapa?” dia kik kuk. 
“Ha? Apa? Kenapa?” saya balik tanya. 
“Mukamu itu lho Deponk, bikin ga ngerti, kamu lagi mikir apa tentang aku,” begitu katanya.
Jadi saya dikatain POKERFACE…

Beberapa lainnya, seperti mas Yudi dan Wahyu – teman kuliah HI – mengatai wajah saya wajah melas…

Itu karena waktu saya ngasdos Geopol, ekspresi saya datar dan tidak sesuai dengan apa yang sedang saya ucapkan di depan kelas.
Saya juga ingat waktu semester dua atau tiga, Domi – salah satu teman angkatan saya – tiba-tiba saja duduk di sebelah saya dan menatap saya dalam-dalam.

“Kamu gapapa Dev?” 
“Lagi sakit nih…,” (lagi asma) 
“Kamu punya leukemia tha, Dev?” 
Saya melongo. 
“Gapapa… Dev… aku ngerti kok!” katanya dengan tampang penuh pengertian.

W-H-A-T!?

Pokoknya, intinya, ekspresi saya selalu menyebabkan orang lain salah sangka atas saya. Ada yang ngatain saya tidak tulus, ada yang ngatain saya sinis, ada yang ngatain saya melas, dan ada pula yang ngatain saya punya penyakit parah yang tak tersembuhkan. Ya, Tuhan… ampuni saya…
Bagaimana mungkin saya menyebarkan fitnah atas diri saya sendiri ke semua orang? Saya tidak habis pikir…

Dan kelambanan otot-otot wajah saya untuk menciptakan ekspresi yang sesuai menyebabkan saya kesulitan berteman dengan orang baru. Padahal kalau sudah kenal saya lama, saya bisa jadi sangat freak dan lebay.

Dalam hati, saya sedikit iri dengan teman kuliah saya, Cece  atau Renny. Cece dan Renny ini punya ekspresi yang sangat bagus. Mereka selalu tepat menyiratkan perasaannya melalui ekspresi wajah. Sebentar bisa terlihat ceria, sebentar bisa terlihat simpatik, dan dengan cepat pula bisa berubah ekspresi menjadi sangat tegas.

Saya sangat sering memperhatikannya dan semakin lama menjadi semakin iri…

Maka saya belajar untuk melakukan ekspresi-ekspresi dengan tepat ketika situasi sedang membutuhkan ekspresi tersebut. Namun nihil, saya selalu memunculkan ekspresi yang berlebihan dan kadang saya tidak cukup memiliki kepercayaan diri untuk melakukannya.

Pemikiran saya tentang pentingnya teknik merangsang otot wajah demi menciptakan ekspresi yang sesuai ini semakin lama semakin membuat saya frustasi dan saya semakin menyadari ketidakmampuan saya.

Kemudian fokus saya perlahan beralih kepada salah satu teman kosan saya, Kusniah namanya. Dia sama cueknya dengan saya, ekspresinya sama datarnya, dan bahkan lebih parah karena ia tidak pernah melakukan hal yang lumrah dilakukan seseorang dalam hubungan pertemanan.

Misalnya, suatu ketika, ia akan ujian dan kalkulatornya mati. Saya membantunya, membuka skrup kalkulator tersebut dengan jepit lidi, memasukkan baterai baru (kebetulan saya punya), dan karena kekecilan saya masukkan sedikit lipatan tisu supaya pas. Inti cerita, saya berhasil membuat kalkulatornya menyala setelah berjuang menguras keringat.

Di sana… bukankah seharusnya kata yang ia ucapkan adalah… terima kasih?

Namun dia tidak melakukan itu, bahkan sama sekali tidak berniat melakukannya.

Saya cuma bengong antara menunggu dia bilang terima kasih dengan perasaan saya yang berkata: nungguin kata terima kasih kok BERASA pamrih sih?



Tanpa berkata-kata lagi, dia berangkat kuliah dengan kalkulatornya.

Begitulah… saya juga bingung… setiap dia melakukan kesalahan pada yang lain pun, dia juga tidak pernah mengucapkan kata Maaf.

Tapi tak lama kemudian saya sadar, pentingkah sebuah kata?

Suatu ketika, saya sedang ada masalah, dan karena tidak ingin kesepian saya berkunjung di kamar Kusniah – kamar kami tepat bersebelahan. Dia melihat saya sekilas lalu dengan autisnya kembali sibuk mendownload semua video Korea dari Youtube.
Saya duduk di kasurnya dan diam saja.

Kusniah beralih dari layar laptopnya, menatap saya sebentar, lalu membuka earphone-nya. Kemudian dia mulai bercerita banyak hal tentang kekonyolan artis-artis Korea dalam reality show serta kesalahan mereka ketika perform di atas stage. Dari dia saya punya banyak informasi tentang dunia hiburan Korea. Saya kenal Shinee, 2pm, 2am,MBLAQ, Suju, SNSD, T-ara, Kara, DBSK dan lain-lain.

Saya jadi tertawa karena ceritanya.

Dan tidak seperti lumrahnya yang dilakukan seorang teman ketika melihat temannya lesu, ia tidak membebani saya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti : kenapa sedih? Kamu ada masalah apa?Cerita dong?

Kusnia seperti memiliki kelemahan melakukan hal formal seperti mengucapkan terima kasih dan maaf tapi dia selalu punya cara sendiri untuk mengutarakan perasaannya. Somehow, saya selalu bisa merasakan bahwa apa yang dilakukannya tulus tanpa ia mengucapkan apapun.

Mungkin hubungan antarmanusia bukan hanya sekedar teknik berkomunikasi melainkan juga tentang ketulusan.

Yang harus saya pelajari adalah melakukan ketulusan pada orang lain dan menerima diri saya apa adanya ketimbang memaksakan diri melakukan hal yang tidak mampu saya lakukan.

Pada akhirnya apa yang dilakukan dengan tulus pasti akan tersampaikan tanpa harus mengekspresikannya, bukan?

Melalui tulisan ini saya meminta maaf pada teman-teman yang salah sangka terhadap saya. Ekspresi mengerikan saya adalah bukan tentang ketidakmauan, namun merupakan ketidakmampuan.

Mohon maaf…

Dan melalui tulisan ini saya menyampaikan pada teman-teman, saya tidak punya Leukimia atau penyakit Ataksia.

Sekian, terima kasih…




Popular Posts

Follower