TENTANG SI CHIMER

Friday, September 27, 2013

SELAMAT TINGGAL KAMAR KOSKU

Saya adalah tipe orang yang sering terbayang-bayangi oleh kenangan. Saya adalah orang yang tidak akan melakukan sesuatu kecuali dengan dorongan yang kuat. Oleh karenanya, saya bisa lancar nulis #X. Eh, move on, woy!

Oleh karenanya, ketika saya memutuskan untuk pindah kos kali ini adalah didorong dengan kebutuhan kosan yang lebih dekat dengan kantor. Serta fasilitas kos yang kurang memadai. Air kamar mandi yang sering habis ketika saya pulang kantor.

Saya ingat ketika pertama kali pindah ke kos ini. Awal tahun 2012, semester tujuh, sedang mengerjakan skripsi. Selama ini saya selalu sekamar berdua demi hemat. Tapi kosan ini, harganya begitu murah untuk ukuran sekamar sendiri. I’m so excited that day. Saya sampai ga mau keluar dari kamar kos selama berhari-hari. Saya begitu nyaman sendirian di kamar.

Dulu, ketika sekamar berdua dengan teman lain, saya harus selalu menjaga diri. Ga boleh rame, selalu rapi, eh temen sekamarnya yang rame dan berantakan. Ngok. Dulu pas sekamar berdua, mau galau malu, mau nangis-nangis malu juga. Di kamar ini saya bisa galau sepuasnya dan nangis sepuasnya. Enak banget, buat nulis novel galau. Biarpun yah, sempit banget ini kamar…

Di kamar ini, skripsi saya beres. Dulu di kosan lama, banyak gangguan. Sama sekali ga bisa konsentrasi. Memang waktunya untuk sendiri menata hidup pokoknya di kos ini. Sebelumnya saya tinggal di kos bersama satu geng rame-rame. Terus di kos ini cuma tinggal berdua, saya dan Renny.

Tapi saya sangat menyayangi kamar ini. Sampai kemudian, teman saya, Renny meninggalkan saya karena kerja di luar kota dan sekarang balik lagi ke Surabaya. She said: Deva, the time is up. Sudah waktunya kamu ‘naik kelas’. Mau sampe kapan kamu di kos ini? Susah air dan segala fasilitas yang terbatas. Kamu kan udah dapat kerja. Pindah dong ke kos yang baru !


Saya kemudian ‘terbangun’. Now it’s time to say goodbye. Kamar ini akan tertinggal bersama kenangan masa lalu. Eaak, lebay. Yah, tahu, saya orangnya lebay sangat. Ngehehe…

Monday, September 16, 2013

NOVEL DULU vs NOVEL SEKARANG

Saya baru saja menemukan buku RL Stine lama di sebuah toko buku keren dan buku itu diobral dengan harga sangat menarik. Saya membeli enam dan membacanya saat ini. Tiba-tiba saya merindukan masa lalu.

om R.L. Stine

Saya dan teman kos ngobrol masalah itu dan menemukan beberapa kesimpulan. Dulu, buku-buku ditulis dengan kata-kata yang lugas dan jelas. Dulu buku-buku lebih mengutamakan plot ketimbang deskripsi tempat yang (bagi saya) membosankan. Dulu ending dari buku-buku itu tidak mudah ditebak.

Sekarang novel-novel penuh kata-kata puitis yang seringnya terkesan menye-menye (kebanyakan yah, catat, ga semuanya). Masalah kecil dibesar-besarkan. Kaya jadi orang paling menderita sedunia. Menjual kegalauan mahagapenting di mana-mana. Sekarang lebih mengutamakan hal-hal galau dan deskripsi tempat seting luar negeri. Saya sih, kalau deskripsinya kebanyakan malah ngantuk. Sekarang, ending-ending buku, dari judulnya aja udah bisa ketebak.


Namanya lagi trend. Semua akan datang dan berlalu. Mari menulis hal-hal yang kita sukai saja. Walau tidak trend tidak apa-apa. Mungkin tulisan kita suatu saat jadi trend.

Oh ya, ada OBRAL BUKU MURAH DI SINI!!!!

Main-main :D

Friday, September 6, 2013

MENJADI MINORITAS

our secret, by cannery row awesome
from VisualizeUs

Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritasnya adalah moslim. Bagi yang non-muslim mereka harus “mengalah” atas nama tenggang rasa. Bahkan dalam hukum kenegaraan pun ada yang menggunakan dalil Islam. Padahal kita kan negara sekuler dan ga semuanya juga muslim.

Kadang kita juga ga sadar pas ngobrol sama teman yang sama-sama muslim. Kita kadang cuma niat bercanda membicarakan agama lain, tapi itu sudah termasuk SARA dan menyinggung teman non muslim–yang kebetulan dengar. Teman non muslim itu biasanya hanya diam dan perlahan berlalu.

Saat ini, di kantor saya, saya lah yang menjadi kaum minoritas. Saya adalah satu-satunya marketing yang beragama Islam. Ketika jam-jam sholat, saya menghentikan aktivitas saya, dan mengambil wudhu. Mereka menatap saya aneh, ngapain ini anak basah-basahan?, begitu mereka berpikir.

Lalu pas aktivitas kerja, saya bilang: eh, sori ya, ga bisa kesenggol, lagi pegang wudhu. Saya biasanya mempertahankan wudhu dhuhur sampai dengan shalat ashar demi efektifitas. Mereka menatap saya aneh. Sejak awal pun saya diberitahu ada masalah sara dalam perusahaan. Meski mereka berusaha sebisa mungkin menyelesaikannya.

Ya, sebagai kaum minoritas, saya mengalami apa yang dialami teman non-muslim saya. Rekan-rekan kantor, tanpa sengaja/bisa saja sengaja, menyinggung agama saya, saya hanya diam, dan berlalu pergi. Tak perlu beradu pendapat sementara setiap harinya kami bakal selalu bertemu. Saya biasanya pura-pura tidak dengar.


Ini hanyalah salah satu potret realita “menjadi minoritas”. 

Popular Posts

Follower