TENTANG SI CHIMER

Monday, March 31, 2014

SEBUAH "ALASAN"

Jadi saya telah sampai pada sebuah titik di mana saya menemukan alasan untuk mengenakan hijab. Saya yang selama ini mengelak mengenakan hijab karena ingin menemukan “jawaban” sendiri. Saya yang selama ini berkata bahwa suatu saat akan mengenakan hijab namun tidak sekarang.

Sayangnya keputusan ini mungkin sudah sedikit terlambat. Saya menemukan "alasan" ketika saya tidak bisa mengenakan hijab di kantor. Sedikit ironis memang. 

Jadi terhitung sejak kemarin saya mengenakan hijab ketika keluar. Namun ketika berangkat kantor saya melepas hijab saya. Kita anggap saja ini sebagai proses saya belajar mengenakan hijab. Kita sebut saja bahwa ini adalah ujian yang harus saya lewati untuk “naik kelas”, untuk kemudian layak menjadi “yang berhijab”. Mungkin saat ini saya belum layak menyandang predikat itu. Mungkin saja. Entahlah.


Dalam hati kecil saya, timbul ketakutan. Saya takut dengan kondisi saya yang “memakai-melepas hijab” karena alasan pekerjaan. Saya takut kehilangan momentum untuk naik kelas di hadapan Allah SWT. Saya harap kesempitan saat ini akan membawa saya pada kelapangan di masa depan untuk mengenakan hijab seutuhnya. 

Amin.

ANNESYA 

Saturday, March 22, 2014

ANGIN KOSONG

Setelah sekian lama, akhirnya kita berada di sini, duduk berhadapan dengan sepiring iga bakar yang sudah habis. Bagaimana aku bisa memulai semua ini? Bagaimana aku bisa berpura-pura tidak tahu ketika aku berulang kali menangkap matamu yang menatapku dengan memuja? Aku merasa jadi brengsek.

“Jadi… gimana soal kemarin?” aku memulai.

Kamu tampak tercekat. “Ya, itu jelekku. Aku gampang marah.”

“Apa ada yang kurang jelas… soal yang kusampaikan kemarin?”

“Ya, dari awal aku sudah tahu kita ga mungkin akan ke mana-mana. Aku cuma suka jalan sama kamu.”

Dari sisiku, aku cuma tidak mau terlalu melukaimu. Walau pada akhirnya aku tetap saja melakukannya. Aku, si brengsek yang setiap kata yang kuucapkan hanya akan terdengar brengsek. Setiap kata yang kukeluarkan hanya akan jadi angin kosong yang tidak berarti.

“Bagiku, kamu spesial. Cowok yang mendapatkanmu sangat beruntung.”

“Haha, sekarang aja kamu bilang gitu! Ntar begitu ketemu jelekku juga ga bakal bilang gitu!” aku berusaha melucu.

”Nah itu, aku belum nemu jelekmu.”

“Jelekku banyak! Cuma kamu aja yang tutup mata.” Aku masih berusaha tertawa, tawa memaksakan sebenarnya.

“Seharusnya kamu jahat sama aku. Biar seperti orang jatuh, sekalian aja diinjak terus didorong masuk jurang.”

Aku menelan ludah dan menatapnya sungguh-sungguh. “Kamu mau aku seperti itu? Kalau kamu benar mau, aku ga apa-apa.” Ujarku. Sebenarnya aku ingin berusaha meringankan rasa sakitmu dan juga rasa bersalahku. Aku akan melakukan apapun.

Kamu menggeleng. “Kita berteman saja.”

Kamu dengan gugup memotong-motong timunmu. Aku dengan gugup mengaduk-aduk es campurku. Kamu tidak tahu betapa merasa brengseknya aku. Dan aku mungkin tidak akan pernah tahu betapa terlukanya kamu. Kita sama-sama tidak tahu. Atau mungkin, kita hanya sepakat tanpa suara, untuk pura-pura tidak tahu.

“Aku berusaha mengalihkan padanganku tapi setiap hari aku ketemu kamu dan melihat kamu. Sialnya, setiap hari kamu semakin terlihat…,” kata-katamu menggantung.

“Apa kita sebaiknya ga usah bicara?” potongku. Aku tidak ingin mendengar lanjutan dari kata-katamu. Aku terlalu egois.

Kamu lagi-lagi menggeleng. “Kita berteman saja.” Kamu menghela nafas. “Menyukai bukan berarti memiliki kan?”

Itu kata-kata basi sebenarnya, tapi, entahlah, aku yang biasanya tidak mempercayai itu tiba-tiba mempercayainya. Kita beranjak pergi dengan perjanjian itu. Kita berteman saja. Berteman. Sebagai teman yang baik kamu mengantarku pulang. Sekali lagi, sebagai teman. Digarisbawahi dan dipertebal.

Kamu memastikan aku sampai masuk ke balik pagar. Aku sekali lagi harus berakting pura-pura tidak tahu, harus berakting dingin, dan tidak terlalu bersikap manis padamu. Akting yang kuharap membuatmu tidak terlalu terluka. Aku benci berada dalam posisi ini. Aku benci berada dalam posisi yang harus menyakiti orang sebaik kamu.

Aku sebenarnya ingin bilang terima kasih. Terima kasih karena repot-repot menyukaiku yang aneh ini. Terima kasih karena sudah menyukaiku dengan cara yang begitu baik dan begitu berbeda. Terima kasih karena sudah mau terluka karena menyukaiku. Terima kasih.

Namun, ucapan terima kasih ini hanya akan menjadi angin kosong kan? Tidak berarti dan tidak akan mengubah apapun. Jadi aku memilih menelannya di pangkal kerongkongan.


ANNESYA

Thursday, March 13, 2014

SEPULUH TAHUN YANG LALU, JUGA HUJAN

Akhir-akhir ini setiap jam pulang kantor, hujan turun dengan derasnya. Sambil berjalan sendirian di trotoar, saya menggenggam payung, dan memori saya berputar ke kejadian 2004 silam, sepuluh tahun yang lalu. Kejadian yang butuh waktu delapan tahun lamanya untuk menyembuhkan trauma yang saya alami akibat kejadian itu. Saya benci berada di luar dan sendirian ketika hujan deras turun. Saya sangat membencinya.

Saat itu, sepuluh tahun yang lalu, hujan turun sangat deras dan saya sendirian. Saat itu saya berteriak sangat kencang meminta pertolongan tapi tidak ada yang datang. Saya berusaha memanggil mobil yang lewat, namun mereka berlalu. Suara saya mungkin teredam petir dan derasnya hujan yang menampar jalanan. Saya tidak tahu. Entah karena mereka tidak mendengar atau tidak peduli. Saya tidak tahu. Saya tidak mau tahu. Segalanya sudah tidak penting lagi.

Sepuluh tahun yang lalu, saya menangisi kejadian itu. Saat itu saya tahu bahwa manusia bisa menjadi demikian tidak berhati nurani. Saat itu saya tahu bahwa dunia di luar sana begitu kejam. Saat itu usia saya empat belas tahun. Walau saya tidak mengalami kehilangan yang berarti, sesuatu dalam diri saya berubah. Ketakutan yang menghantui saya bertahun-tahun lamanya. Mungkin hingga saat ini saya belum mampu mengatasinya. Mungkin saat ini saya hanya sekedar berpura-pura berani. Mungkin. Entahlah.


Ini adalah kisah yang tidak bisa saya bagikan kepada banyak orang. Namun ini adalah kisah yang perlu saya sampaikan pada banyak orang. Selalu ada alasan kenapa Tuhan menyelamatkan saya dari kejadian itu. Selalu ada alasan kenapa Tuhan masih mempertahankan saya di dunia ini. Saya akan mencari alasan itu. Saya hidup demi mencari alasan itu.

ANNESYA

Tuesday, March 11, 2014

MAHA (GA) PENTING

Saya dan teman saya pergi ke Indomar*t berniat membeli kapas wajah. Orang-orang ramai berlalu lalang keluar masuk minimarket. Ketika saya hendak mengantongi kunci yang saya bawa ke celana olahraga yang saya kenakan, saya merasa ada yang salah.

Saya (S) : Mbak, sini deh!

Teman saya (TS) : (mendekat) Apa?

S : Aku punya cerita lucu.

TS : Apaan?

S : Celanaku kebalik.

TS : (melongo bentar, memperhatikan celana yang saya kenakan, ngakak puas)   


ANNESYA

Popular Posts

Follower