Setelah sekian lama, akhirnya kita berada
di sini, duduk berhadapan dengan sepiring iga bakar yang sudah habis. Bagaimana
aku bisa memulai semua ini? Bagaimana aku bisa berpura-pura tidak tahu ketika aku
berulang kali menangkap matamu yang menatapku dengan memuja? Aku merasa jadi
brengsek.
“Jadi… gimana soal kemarin?” aku memulai.
Kamu tampak tercekat. “Ya, itu jelekku.
Aku gampang marah.”
“Apa ada yang kurang jelas… soal yang
kusampaikan kemarin?”
“Ya, dari awal aku sudah tahu kita ga
mungkin akan ke mana-mana. Aku cuma suka jalan sama kamu.”
Dari sisiku, aku cuma tidak mau terlalu
melukaimu. Walau pada akhirnya aku tetap saja melakukannya.
Aku, si brengsek yang setiap kata yang kuucapkan hanya akan terdengar brengsek.
Setiap kata yang kukeluarkan hanya akan jadi angin kosong yang tidak berarti.
“Bagiku, kamu spesial. Cowok yang
mendapatkanmu sangat beruntung.”
“Haha, sekarang aja kamu bilang gitu! Ntar begitu
ketemu jelekku juga ga bakal bilang gitu!” aku berusaha melucu.
”Nah itu, aku belum nemu jelekmu.”
“Jelekku banyak! Cuma kamu aja yang tutup
mata.” Aku masih berusaha tertawa, tawa memaksakan sebenarnya.
“Seharusnya kamu jahat sama aku. Biar
seperti orang jatuh, sekalian aja diinjak terus didorong masuk jurang.”
Aku menelan ludah dan menatapnya
sungguh-sungguh. “Kamu mau aku seperti itu? Kalau kamu benar mau, aku ga
apa-apa.” Ujarku. Sebenarnya aku ingin berusaha meringankan rasa sakitmu dan
juga rasa bersalahku. Aku akan melakukan apapun.
Kamu menggeleng. “Kita berteman saja.”
Kamu dengan gugup memotong-motong timunmu.
Aku dengan gugup mengaduk-aduk es campurku. Kamu tidak tahu betapa merasa
brengseknya aku. Dan aku mungkin tidak akan pernah tahu betapa terlukanya kamu.
Kita sama-sama tidak tahu. Atau mungkin, kita hanya sepakat tanpa suara, untuk pura-pura
tidak tahu.
“Aku berusaha mengalihkan padanganku tapi
setiap hari aku ketemu kamu dan melihat kamu. Sialnya, setiap hari kamu semakin
terlihat…,” kata-katamu menggantung.
“Apa kita sebaiknya ga usah bicara?” potongku.
Aku tidak ingin mendengar lanjutan dari kata-katamu. Aku terlalu egois.
Kamu lagi-lagi menggeleng. “Kita berteman
saja.” Kamu menghela nafas. “Menyukai bukan berarti memiliki kan?”
Itu kata-kata basi sebenarnya, tapi,
entahlah, aku yang biasanya tidak mempercayai itu tiba-tiba mempercayainya. Kita
beranjak pergi dengan perjanjian itu. Kita
berteman saja. Berteman. Sebagai teman yang baik kamu mengantarku pulang. Sekali
lagi, sebagai teman. Digarisbawahi dan dipertebal.
Kamu memastikan aku sampai masuk ke balik
pagar. Aku sekali lagi harus berakting pura-pura tidak tahu, harus berakting
dingin, dan tidak terlalu bersikap manis padamu. Akting yang kuharap membuatmu
tidak terlalu terluka. Aku benci berada dalam posisi ini. Aku benci berada
dalam posisi yang harus menyakiti orang sebaik kamu.
Aku sebenarnya ingin bilang terima kasih. Terima
kasih karena repot-repot menyukaiku yang aneh ini. Terima kasih karena sudah
menyukaiku dengan cara yang begitu baik dan begitu berbeda. Terima kasih karena
sudah mau terluka karena menyukaiku. Terima kasih.
Namun, ucapan terima kasih ini hanya akan
menjadi angin kosong kan? Tidak berarti dan tidak akan mengubah apapun. Jadi
aku memilih menelannya di pangkal kerongkongan.
ANNESYA