TENTANG SI CHIMER

Thursday, January 30, 2014

PAK, PLEASE...

Sebuah miscol masuk dan saya berinisiatif untuk menelepon balik.
Saya (S): Halo, tadi nomor ini menelepon saya. Ini siapa ya?
Pak Pos (PP): Halo, saya dari jasa pengiriman T. Ini dengan Mbak Nesya?
S: Ya. Saya sendiri. Ada paketan apa, Pak?
PP : Paketan dari PT blabla… ancer-ancer rumahnya Mbak di mana ya?
S: (menjelaskan dengan detail)

PP paham dan telepon ditutup. Lima belas menit kemudian, PP kembali menelepon.
PP: Mbak, saya sudah di pertigaan.
S: Wah, betul, rumah saya deketan situ. Coba tanya orang deket situ, pasti mereka tahu deh.
PP: Baik, Mbak!

Telepon ditutup. Lima menit kemudian PP telepon.
S: Ada apa, Pak? Sudah ketemu rumah saya?
PP: Aduh, Mbak! Saya minta maaf! Minta maaf banget lho, Mbak!
S: (ikutan panik) Ada apa emangnya, Pak?
PP: Gini, Mbak, saya sudah di depan rumahnya Mbak…
S: Terus? (berusaha mengatur nafas)
PP: Paketannya Mbak ketinggalan di meja saya.
S: #GLODAK
PP: Saya anterin lagi sorean ya, Mbak. Maaf ya! Ini paketannya ketinggalan e mbak… piye…
S: Hahaha, gapapa, Pak! Tenang aja, ga keburu-buru kok paketannya.


Telepon ditutup. Saya ngakak.

Friday, January 24, 2014

BEGITU BANYAK HATI

from weheartit



Sebab di dunia ini ada begitu banyak hati dan tidak semuanya bisa kita pahami.
Seringkali kita tidak bisa menyadari bahwa kita baru saja menyakiti hati lainnya.
Sebab di dunia ini ada begitu banyak hati dan tidak semuanya bisa kita lindungi.
Seringnya kita gagal mengerti.

Saturday, January 18, 2014

POSTING MAHA (GA) PENTING

Saya lagi kumat galau. Galaunya saya adalah karena memikirkan hal-hal yang tidak tuntas. Kadang memikirkan takdir. Saya kebanyakan mikir. Padahal seringkali, percuma capek mikir, hasilnya ga bener juga.

Wednesday, January 15, 2014

PADA AKHIRNYA

day three hundred. hit and run. / katie lee picture on VisualizeUs
from weheartit



Pada akhirnya manusia akan bermuara di tempat yang sama.
Jiwa-jiwa yang dituakan kehidupan.
Kedewasaan,
atau proses keterpaksaan menurunkan dinding ego.
Jiwa-jiwa yang sebelumnya mengelak dari kenyataan.
Jiwa-jiwa yang menguat seiring luka yang lalu.

Pada akhirnya manusia akan bermuara di tempat yang sama.
Berdiri di tanah yang sama.

Pada akhirnya manusia akan bermuara di tempat yang sama.
Sejauh apapun ia lari.


Saturday, January 4, 2014

DILARANG JATUH CINTA PADA ORANG GILA

                “Memang orang-orang banyak yang nggak waras!“ desismu seakan takut orang-orang tersinggung karena mendengarnya.
                Kita sedang duduk berdua di kursi taman. Kau pucat seperti biasanya namun masih terlihat cantik dalam pakaian rumah sakit. Ah, aku selalu tahu bukan hal sulit untuk jatuh cinta padamu.
                “Aku bisikin sesuatu deh!” Kau menoleh ke kanan dan ke kiri dengan mata awas kemudian berbisik ke telingaku. Angin berhembus sepoi, anak rambutmu menyentuh telingaku. Ah, geli. Aku tertawa sedikit namun kau tidak peduli dan mulai membisiki, “Lihat, ngapain mereka lebih ngurusin orang lain ketimbang dirinya sendiri?”
                Di lorong ada beberapa perawat yang sibuk mengurusi pasien yang mengamuk. Pasien itu bersikeras bahwa ia harus pulang, dia tidak sakit. Ah, drama seperti dalam sinetron.
                Aku menjauh sedikit demi bisa memandang matamu yang membola dengan lucu. “Maksudmu para perawat itu?”
                “Iya!” kamu mengangguk mantap.
                Aku tertawa. “Ya… karena itu pekerjaan mereka.” Jawabku. Sebenarnya aku juga bekerja sebagai perawat di sini tapi kalau bersamamu aku bertingkah sebagai seorang teman. Seringnya sebagai seorang laki-laki.
                “Kerja? Buat apa kerja sih?” kau bertanya.
“Buat hidup lah! Biar dapat uang! Kita bisa membeli apa saja di dunia ini dengan uang.” Jawabku diplomatis.
                “Kamu sudah ikutan gila!“ kau menuduhku dengan benci. “Hidup itu ga butuh uang. Kita bisa menanam tumbuhan di kebun kita dan makan dari hasil panennya. Uang cuma untuk orang serakah.”
                Aku tertawa. Kamu nggak pernah sadar kalau kamu itu gila. Dan gemasnya, dalam keadaan gila sekalipun, kau bisa begitu menarik di mataku. Ah! Dan aku jatuh cinta pada orang gila yang kurawat selama dua tahun terakhir aku bekerja di rumah sakit jiwa ini. Entah siapa yang lebih gila di antara kami.
                “Oh ya, ngomong-ngomong ada kamera di sudut sana! Kita ini sedang syuting. Kita harus bisa meraih piala Oscar.” Kau mulai membicarakan hal-hal yang tidak pernah terjadi sembari menunjuk-nunjuk kamera CCTV di setiap sudut rumah sakit.
                Mimpimu menjadi artis kenamaan kandas ketika produser yang kau kencani hanya menidurimu kemudian memilih artis lain sebagai pemeran utama film yang dibuatnya. Kau kesal. Kau membelah kepala kekasihmu itu dengan pisau daging. Setelah membunuhnya, kau menghubungi infotainment, menyuruh mereka meliput pembunuhan yang kaulakukan. Kau divonis mengalami gangguan jiwa dan perlu menjalani perawatan di rumah sakit jiwa.
                Kau mulai bicara tentang film-film yang pernah kau bintangi. Aku mendengarkannya dengan seksama. Namun tidak lama  pesaingku datang. Oh man… kenapa ia begitu tampan?
                Laki-laki itu selalu rutin datang menjengukmu. Namanya Alvin. Dia adalah rekan kerjamu ketika kau masih aktif syuting dulu. Sekali lihat, aku tahu ia tergila-gila padamu. Kau mengobrol sangat akrab dengan Alvin. Aku benci. Kenapa kau mengabaikanku demi laki-laki itu? Ah, apa kau juga mencintaiku laki-laki itu? Kau seharusnya mencintaiku, aku yang merawatmu sepanjang hari.
                Jantungku serasa diremas-remas.
                Selepas kepergian Alvin, aku berkomentar. “Kamu cinta sama Alvin?”
Kau menatapku dengan mata indahmu yang berbulu mata panjang. “Cinta? Ah aku baru ingat satu hal, aku harus membunuh orang yang kucintai. Semua laki-laki itu brengsek, aku harus membunuhnya langsung setelah aku menyatakan perasaanku. Jangan sampai ia memanfaatkanku seperti produser keparat itu!”
Tiba-tiba sebersit ide jahat di kepalaku. Bagus. Kau akan membunuh Alvin karena kau mencintainya kan? Kau memang jenius. Kau terlalu takut untuk percaya pada orang lain. Kau terlalu takut jatuh cinta. Sebab cinta telah membawamu pada titik kehancuran di mana kau kehilangan segalanya seperti saat ini.
Seulas senyum menghiasi wajahku. “Hei, aku akan membantu, kau percaya padaku kan?”
Kau menoleh padaku kemudian tersenyum manis.
Obat yang seharusnya kusuruh kau meminumnya sore ini akan ku-flush dalam toilet.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku sengaja menggantikan rekan yang seharusnya piket hari ini untuk memeriksa kamar-kamar. Begitu sampai di kamarmu, aku menoleh ke sekitar, memastikan tak seorang pun melihat. Ini akhir bulan, kamera CCTV dimatikan sehari untuk keperluan maintenance.
Kau terbangun dari ranjangmu, matamu nyalang menatapku. Aku melemparkan sebilah pisau dan kunci duplikat melalui sela jeruji jendelamu. Kau tersenyum culas. Bahkan kau tetap cantik dengan senyum culasmu itu.
***
Kau memintaku menunggumu di halaman parkir rumah sakit. Di mobil aku gelisah. Bagaimana pun ini pertama kalinya aku membantu seseorang untuk melakukan tindak kriminal. Ah, tapi bukan aku yang akan membunuh, tapi kamu kan. Kamu mau membunuh satu orang atau dua orang, tidak akan ada bedanya. Kau hanya akan tinggal lebih lama di rumah sakit ini, dan aku akan dengan senang hati menemanimu.
pict randomly googled
                Tok tok…
                Aku terjingkat kaget. Kau mengetuk jendela mobilku. Segera kubukakan pintu mobil. Kau menyambutku dengan senyuman yang sangat manis.
                “Ayo, lekas masuk. Di mana kau akan bertemu Alv… arrrgh!!!”
                Sesuatu menembus perutku dengan lembut. Seperti sebilah pisau yang membelah kue tart. Lembut dan rapi. Hanya saja, aku lah kue tart itu. Aku bahkan masih berpikir kalau aku salah tangkap. Tidak mungkin kau menggunakan pisau yang kuberikan padamu untuk menusuk perutku kan? Tidak mungkin. Bukankah kau bilang di dunia ini kau hanya percaya padaku?
                Namun rasa sakit ini… cairan hangat yang merembes pada kemejaku… apakah kau benar…
                Masih dengan wajah tersenyum, kau memegang bahuku, dan menekankan pisau itu lebih dalam lagi menembus lambungku. Aku ternganga, mataku tetap menatap matamu lurus-lurus.
Kau membiarkan kepalaku bersandar di pundakmu. Kau bahkan tidak terganggu ketika mulutku memuntahkan darah yang bisa mengotori pakaianmu.
                “Maaf, kita lakukan di sini saja.” Kau memeluk tubuhku yang gemetaran.
Tangan kananmu masih memegang gagang pisau yang menancap di perutku. Aku berusaha melawan. “H-hentikan.“ nafasku tersengal, “ak-aku…  mencintaimu. K-kenapa…,“
“Sstt!” Kau mendesis. “Jangan berisik, orang bisa dengar kita!“ kau mencabut pisau itu dari perutku. Rasanya nyawaku sudah berada di ubun-ubun. Aku bisa merasakan hawa dingin mulai menjalar dari kakiku.
Tubuhku sedikit mengejang. Jadi ini yang disebut dengan meregang nyawa? Sakit bercampur dingin yang menusuk. Dengan lembut kau membaringkanku di kursi mobil. Kau masuk, duduk berhadapan di atas pangkuanku dan menutup pintu mobil.
Kau terlihat sangat cantik…
Kau melumat bibirku dengan lembut. “Aku tidak mencintai Alvin. Orang yang kucintai adalah kamu. Tapi aku tidak boleh mencintai siapa-siapa lagi di dunia ini. Maafkan aku…,” Kemudian kau mengangkat pisau itu tinggi-tinggi dan menghujamkannya dengan cepat ke dadaku.

pict randomly googled
Gelap.
Padahal aku tidak sempat berkedip, mengagumi kecantikanmu.
***
TAMAT

Popular Posts

Follower