“Memang
orang-orang banyak yang nggak waras!“ desismu seakan takut orang-orang tersinggung
karena mendengarnya.
Kita sedang duduk berdua di kursi taman. Kau pucat seperti biasanya namun
masih terlihat cantik dalam pakaian rumah sakit. Ah, aku selalu tahu bukan hal
sulit untuk jatuh cinta padamu.
“Aku bisikin sesuatu
deh!” Kau menoleh ke kanan dan ke kiri dengan
mata awas kemudian berbisik ke telingaku. Angin berhembus sepoi, anak rambutmu
menyentuh telingaku. Ah, geli. Aku tertawa sedikit namun kau tidak peduli dan
mulai membisiki, “Lihat, ngapain mereka lebih ngurusin orang lain ketimbang
dirinya sendiri?”
Di
lorong ada beberapa perawat yang sibuk mengurusi pasien yang mengamuk. Pasien
itu bersikeras bahwa ia harus pulang, dia tidak sakit. Ah, drama seperti dalam sinetron.
Aku
menjauh sedikit demi bisa memandang matamu yang membola dengan lucu. “Maksudmu
para perawat itu?”
“Iya!”
kamu mengangguk mantap.
Aku
tertawa. “Ya… karena itu pekerjaan mereka.” Jawabku. Sebenarnya aku juga
bekerja sebagai perawat di sini tapi kalau bersamamu aku bertingkah sebagai
seorang teman. Seringnya sebagai seorang laki-laki.
“Kerja?
Buat apa kerja sih?” kau bertanya.
“Buat hidup lah! Biar
dapat uang! Kita bisa membeli apa saja di dunia ini dengan uang.” Jawabku
diplomatis.
“Kamu sudah ikutan
gila!“ kau menuduhku dengan benci. “Hidup itu ga butuh uang. Kita bisa menanam tumbuhan di kebun kita dan makan dari hasil panennya. Uang
cuma untuk orang serakah.”
Aku
tertawa. Kamu nggak pernah sadar kalau kamu itu gila. Dan gemasnya, dalam
keadaan gila sekalipun, kau bisa begitu menarik di mataku. Ah! Dan aku jatuh
cinta pada orang gila yang kurawat selama dua tahun terakhir aku bekerja di
rumah sakit jiwa ini. Entah siapa yang lebih gila di antara kami.
“Oh
ya, ngomong-ngomong ada kamera di sudut sana! Kita ini sedang syuting. Kita
harus bisa meraih piala Oscar.” Kau mulai membicarakan hal-hal yang tidak
pernah terjadi sembari menunjuk-nunjuk kamera CCTV di setiap sudut rumah sakit.
Mimpimu
menjadi artis kenamaan kandas ketika produser yang kau kencani hanya menidurimu
kemudian memilih artis lain sebagai pemeran utama film yang dibuatnya. Kau
kesal. Kau membelah kepala kekasihmu itu dengan pisau daging. Setelah membunuhnya,
kau menghubungi infotainment, menyuruh
mereka meliput pembunuhan yang kaulakukan. Kau divonis mengalami gangguan jiwa
dan perlu menjalani perawatan di rumah sakit jiwa.
Kau
mulai bicara tentang film-film yang pernah kau bintangi. Aku mendengarkannya
dengan seksama. Namun tidak lama pesaingku datang. Oh man… kenapa ia begitu tampan?
Laki-laki
itu selalu rutin datang menjengukmu. Namanya Alvin. Dia adalah rekan kerjamu
ketika kau masih aktif syuting dulu. Sekali lihat, aku tahu ia tergila-gila
padamu. Kau mengobrol sangat akrab dengan Alvin. Aku benci. Kenapa kau
mengabaikanku demi laki-laki itu? Ah, apa kau juga mencintaiku laki-laki itu?
Kau seharusnya mencintaiku, aku yang merawatmu sepanjang hari.
Jantungku
serasa diremas-remas.
Selepas
kepergian Alvin, aku berkomentar. “Kamu cinta sama Alvin?”
Kau menatapku dengan
mata indahmu yang berbulu mata panjang. “Cinta? Ah
aku baru ingat satu hal, aku harus membunuh orang yang kucintai. Semua
laki-laki itu brengsek, aku harus membunuhnya langsung setelah aku menyatakan
perasaanku. Jangan sampai ia memanfaatkanku seperti produser keparat itu!”
Tiba-tiba sebersit
ide jahat di kepalaku. Bagus. Kau akan membunuh
Alvin karena kau mencintainya kan? Kau memang jenius. Kau terlalu takut untuk
percaya pada orang lain. Kau terlalu takut jatuh cinta. Sebab cinta telah
membawamu pada titik kehancuran di mana kau kehilangan segalanya seperti saat
ini.
Seulas senyum menghiasi wajahku. “Hei, aku akan membantu, kau percaya padaku kan?”
Kau menoleh padaku
kemudian tersenyum manis.
Obat yang seharusnya
kusuruh kau meminumnya sore ini akan ku-flush
dalam toilet.
***
Waktu sudah
menunjukkan pukul satu dini hari. Aku sengaja menggantikan rekan yang seharusnya
piket hari ini untuk memeriksa kamar-kamar. Begitu sampai di kamarmu, aku
menoleh ke sekitar, memastikan tak seorang pun melihat. Ini akhir bulan, kamera
CCTV dimatikan sehari untuk keperluan maintenance.
Kau terbangun dari
ranjangmu, matamu nyalang menatapku. Aku melemparkan sebilah pisau dan kunci
duplikat melalui sela jeruji jendelamu. Kau tersenyum culas. Bahkan kau tetap
cantik dengan senyum culasmu itu.
***
Kau memintaku
menunggumu di halaman parkir rumah sakit. Di mobil aku gelisah. Bagaimana pun ini pertama kalinya aku membantu
seseorang untuk melakukan tindak kriminal. Ah, tapi bukan aku yang akan membunuh, tapi kamu kan. Kamu mau membunuh
satu orang atau dua orang, tidak akan ada bedanya. Kau hanya akan tinggal lebih
lama di rumah sakit ini, dan aku akan dengan senang hati menemanimu.
pict randomly googled
Tok tok…
Aku terjingkat kaget. Kau mengetuk jendela mobilku. Segera kubukakan
pintu mobil. Kau menyambutku dengan senyuman yang sangat manis.
“Ayo,
lekas masuk. Di mana kau akan bertemu Alv… arrrgh!!!”
Sesuatu menembus perutku dengan lembut. Seperti sebilah pisau yang membelah
kue tart. Lembut dan rapi. Hanya
saja, aku lah kue tart itu. Aku
bahkan masih berpikir kalau aku salah tangkap. Tidak mungkin kau menggunakan
pisau yang kuberikan padamu untuk menusuk perutku kan? Tidak mungkin. Bukankah
kau bilang di dunia ini kau hanya percaya padaku?
Namun rasa sakit ini…
cairan hangat yang merembes pada kemejaku… apakah kau benar…
Masih dengan wajah
tersenyum, kau memegang bahuku, dan menekankan pisau itu lebih dalam lagi
menembus lambungku. Aku ternganga, mataku tetap menatap matamu lurus-lurus.
Kau membiarkan kepalaku
bersandar di pundakmu. Kau bahkan tidak terganggu ketika mulutku memuntahkan
darah yang bisa mengotori pakaianmu.
“Maaf, kita lakukan di
sini saja.” Kau memeluk tubuhku yang gemetaran.
Tangan kananmu masih
memegang gagang pisau yang menancap di perutku. Aku berusaha melawan. “H-hentikan.“
nafasku tersengal, “ak-aku… mencintaimu.
K-kenapa…,“
“Sstt!” Kau mendesis. “Jangan
berisik, orang bisa dengar kita!“ kau mencabut pisau itu dari perutku. Rasanya
nyawaku sudah berada di ubun-ubun. Aku bisa merasakan hawa dingin mulai
menjalar dari kakiku.
Tubuhku sedikit
mengejang. Jadi ini yang disebut dengan meregang
nyawa? Sakit bercampur dingin yang menusuk. Dengan lembut kau membaringkanku di
kursi mobil. Kau masuk, duduk berhadapan di atas pangkuanku
dan menutup pintu mobil.
Kau terlihat sangat
cantik…
Kau melumat bibirku
dengan lembut. “Aku tidak mencintai Alvin. Orang yang kucintai adalah kamu.
Tapi aku tidak boleh mencintai siapa-siapa lagi di dunia ini. Maafkan aku…,” Kemudian
kau mengangkat pisau itu tinggi-tinggi dan menghujamkannya dengan cepat ke
dadaku.
pict randomly googled
Gelap.
Padahal aku tidak
sempat berkedip, mengagumi kecantikanmu.
***
TAMAT