TENTANG SI CHIMER

Saturday, August 4, 2012

TAK PERNAH SEMPAT

Aku tidak pernah sendiri. Walaupun tak ada siapapun di sisi. Aku tidak pernah sendiri. Di keramaian himpit manusia dalam bus ekonomi, pun aku tak terhimpit sendiri. Puluhan jiwa terjebak dalam raga, menjerit.

Supir bus mengumpat, lalu meludah-ludah, mungkin kering kerongkongannya berteriak. Tanpa pernah sekali didengar siapapun. Kondektur terus tertawa, mungkin lelah dirinya ditertawai dalam hidupnya. Laki-laki merokok, kepulan asapnya mencekik tenggorokan penumpang lain. Ia dimarahi, ia abaikan sumpah serapah penumpang lain. Di tempat penuh orang asing ini, mereka semua mencari pelampiasan. Saling menyakiti hati tanpa peduli.

Berapa lama sampai aku tiba, tak pernah aku menghitung jarak antara jiwa. Yang terpisah semu oleh realita. Tak pernah aku peduli, kecuali pada bulir air AC yang menetes di jendela. Mengering oleh ditampar angin. Atau pohon-pohon atau tiang-tiang listrik atau cakrawala senja yang menarik batas dunia. Sebuah kabar tentang gelap yang sebentar lagi memeluk belahan dunia tempat aku tinggal.

Laju kencang menerjang rumah kardus di pinggir jalan. Gelandangan malang itu mengumpat dan menatap pilu rumahnya yang rubuh. Bukan salah bus, rumahnya saja yang terlalu renta. Seperti dirinya. Namun enggan ia memaki diri. Lebih mudah memaki dunia. Kondektur tertawa. Supir meludah lagi melalui kaca jendela di sebelah. Pengendara motor di belakangnya terciprat riak. Jancuk!, ia berteriak.

Dan aku hanya sosok kecil yang terkucil.Tak seorang mengenali apalagi peduli. Semua sibuk sendiri. Sebagaimana aku yang sibuk mengilhami. Abai saja aku pada masalah hidup mereka, apa peduli ku? Abai saja pada supir yang terus mengumpat, apa peduli mereka?. Abai pula pada korban kecelakaan yang kejang-sekarat. Barusan terlindas truk katanya, tak selang waktu lama, kini jadi mayat. Membuat laju kendaraan-kendaraan di jalan tol melambat. Kembali supir mengumpat. Mayat itu bikin jalan busnya terhambat. Mesin busnya jadi berat, panas, kewalahan bus mengangkut beban manusia di dalamnya (beserta dengan beban-beban hidup mereka, tentunya).

Di sela himpitan orang-orang asing ini, di antara sumpah serapah dan bau keringat menyengat; setetes air hangat mengalir lambat. Dari pelupuk mata menggurat pipi, melewati dagu. Leheran kemeja cokelat jadi tadah tanpa persiapan. Tak sempat terusap, membekas di pipi. Cepat mengering oleh hempas angin dan debu. 


Bus melaju cepat…

pict from here

Annesya

Popular Posts

Follower