TENTANG SI CHIMER

Saturday, April 23, 2011

SEBUAH PESAN: KETIKA SAYA INGIN BUNUH DIRI


Bunuh diri itu dosa, itu kata agama. Katanya orang yang mati karena bunuh diri tidak akan pernah masuk surga. Lalu orang yang mati karena sudah waktunya mati, apakah sudah bisa dipastikan akan masuk syurga?

Belum tentu juga kan?

Hidup seharusnya tidak begitu. Hidup itu bukan tentang untung rugi. Hidup ini bukan soal hitungan matematis seperti dalam perdagangan.

Hidup itu bukan aritmatika.

Yang bisa seenaknya ditentukan siapa masuk mana dan kenapa masuk sana.

Dan, ya, saya akui, kadang-kadang saya juga ingin bunuh diri. Walau kemudian hanya sampai selintas pikiran tanpa realisasi yang memadai. Keinginan itu seringkali terlintas ketika segalanya menjadi rumit.

Bagi kalian yang belum pernah merasakan badai seperti itu, kalian harus bersyukur karena itu tandanya kalian sangat beruntung. Tapi tak ada salahnya juga kalau kalian memahami bagaimana rasanya ketika seseorang ingin mengakhiri hidupnya.

Rasanya seakan semua udara ditakdirkan untuk tidak berada di sekitarmu. Seperti kau terpenjara pada ruang kedap tanpa ada yang mendengar teriakanmu. Seakan sesorang mencengkeram erat jantungmu dan serpihan jarum keluar dari dalam sana. Susah bernafas dan merasa sangat tercekik. Rasanya seperti senyum adalah bukan bagian dari dirimu. 

Mungkin tidak akan ada rasa sakit yang jauh lebih hebat dari itu semua, bahkan neraka sekalipun.

Kau berjalan, makan, dan melakukan segala hal tanpa tahu apa tujuan akhir dari segalanya. Kau merasa tidak berharga, tidak pantas bahagia, dan tidak akan ada yang perubahan seandainya kita mati sekalipun.

Saat-saat kelam itu meledak, kau akan butuh distraksi… sebuah pengalihan dari rasa sakit tak kasat matamu.

Kamu butuh terluka, secara fisik kalau perlu. Karena hanya dengan demikian segalanya akan nampak sedikit lebih lapang di dalam. Kamu akan merasa luka fisikmu adalah pengalih yang sempurna. Sebuah pelarian yang menakjubkan sekaligus mengerikan.


Tidak jarang bukan kita menemukan mereka dengan sayatan silet di pergelangan tangan? Atau orang dengan tato dan tindik yang jumlahnya tidak masuk akal berkeliaran di sekitar kita? Mereka yang seperti itu, suka rasa sakit secara fisik, karena luka fisik mengalihkan perhatian mereka dari luka yang terjadi di dalam.

Untungnya… saya masih belum menato atau menindik tubuh saya. Soalnya orang yang bertato (katanya) susah kalau melamar kerja *melantur

Tapi sebenarnya tulisan ini bukan tentang saya dan kenapa tubuh saya belum ditato atau ditindik. Ini tentang seseorang, teman lama saya.

Saya pernah memergoki seorang teman SMP saya melakukan itu. Saat itu pelajaran kosong dan ia duduk di bangku yang paling belakang, merapat ke tembok, dan kemudian menyayat pergelangan tangannya dengan sebuah silet. Disana sudah banyak bekas sayatan lainnya yang sudah mengering.

Ketika saya tanya, kenapa ia melakukan itu, ia hanya tersenyum.

Rasanya menyenangkan, melegakan, begitu dia menjawab. Dia mengaku sering melakukan itu tanpa benar-benar berusaha memotong pergelangan tangannya.

Saya waktu itu masih terlalu polos untuk mengerti perkataannya dan membiarkannya begitu saja.

Sebut saja kawan saya itu bernama Lestari (sebelumnya kan sudah BUNGA dan sudah CITRA, sekarang pakai LESTARI saja). Lestari adalah salah satu cewek populer di sekolah karena sifatnya yang nyentrik dan easygoing. Saya dan Lestari cukup dekat sampai saya mengetahui bahwa ia suka merokok di belakang sekolah, menghabiskan malam dengan mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan kadang masih fly ketika di sekolah.

Tapi saya yang waktu itu masih berusia 13 tahun masih belum mengerti itu semua. Saya tetap berteman dengannya – walau begitu saya menjaga jarak sejak memergokinya hobinya tersebut. Saat itu yang terlintas dalam pikiran polos saya, anak semacam itu sebaiknya dihindari.

Intinya kami terus berteman sampai lulus SMP. Dan begitu masuk SMA, komunikasi kami terputus begitu saja. Padahal seingat saya – terlepas dari kebiasaan buruknya – dia anak yang sangat baik, setidaknya pada saya, yang kutu buku, dan kuper.

Kabar terakhir yang saya dapatkan, Lestari berusaha membunuh dirinya dan kemudian dilarikan di rumah sakit. Saya mendapatkan kabar tersebut dari kawan-kawan SMP yang lain.

Sayangnya sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Dan entah ia sekarang tinggal di mana. Sepertinya dia pindah ke luar kota.

Dalam lubuk hati, saya merasa sangat menyesal. Seharusnya dulu saya tidak menghindarinya dan mungkin dulu ia hanya butuh didengar, bukannya diabaikan. 

Saya ingin merestart ulang hidup saya dan memperbaiki segalanya. Namun hidup itu tidak seperti barang elektronik layaknya laptop dan komputer yang bisa sebegitu mudahnya di-restart dan kalau kena virus bisa langsung di install ulang.

Saya tak akan bisa merubah itu semua. Namun, mungkin jika suatu hari saya bertemu lagi dengannya, saya harap saya bisa memberikan senyuman terbaik saya dan berbincang-bincang dengan ketulusan seorang sahabat.

Semoga mendapatkan kebahagiaan yang kau inginkan, Lestari. Semoga kau bisa mengendalikan hidupmu dan bukannya dikendalikan olehnya. Mungkin itu sulit tapi saya ingin kamu mencoba.

3 comments:

sayamaya said...

nice post devania. n u better send email for me, let me know ur address, coz u win the giveaway.
take care :)

Anonymous said...

hidup itu kyak roda,,,
dari kecil hdupku kyak damai" aja, tapi smenjak SMP, masalah mulai datang.....
akankah masalh itu akan menghilang??
aku jadi pernah berfikir kalau teman bukan orang yang istimewa d hidupku.... mreka hanya angin lalu,,,,
saat itu, masalh demi mslah dtang hanya karena seorang teman....
salah gk sih kalau skrang aku gk percya sama teman....??
aku lbih sering mnyembunyikan apapun sndri....
kenal aku@
ksatria_arjuna45@yahoo.com

SoleildeLamer said...

m may: you're the best :)

anonim: jangan menutup dirimu, jangan membatasi pikiranmu. Life too short just to build a limit on your mind

Popular Posts

Follower