from VisualizeUs
Indonesia adalah negara dengan penduduk
mayoritasnya adalah moslim. Bagi yang non-muslim
mereka harus “mengalah” atas nama tenggang rasa. Bahkan dalam hukum kenegaraan
pun ada yang menggunakan dalil Islam. Padahal kita kan negara sekuler dan ga
semuanya juga muslim.
Kadang kita juga ga sadar pas ngobrol sama
teman yang sama-sama muslim. Kita kadang cuma niat bercanda membicarakan agama
lain, tapi itu sudah termasuk SARA dan menyinggung teman non muslim–yang kebetulan
dengar. Teman non muslim itu biasanya hanya diam dan perlahan berlalu.
Saat ini, di kantor saya, saya lah yang
menjadi kaum minoritas. Saya adalah satu-satunya marketing yang beragama Islam.
Ketika jam-jam sholat, saya menghentikan
aktivitas saya, dan mengambil wudhu. Mereka menatap saya aneh, ngapain ini anak
basah-basahan?, begitu mereka berpikir.
Lalu pas aktivitas kerja, saya bilang: eh,
sori ya, ga bisa kesenggol, lagi pegang wudhu. Saya biasanya mempertahankan
wudhu dhuhur sampai dengan shalat ashar demi efektifitas. Mereka menatap saya
aneh. Sejak awal pun saya diberitahu ada masalah sara dalam perusahaan. Meski mereka
berusaha sebisa mungkin menyelesaikannya.
Ya, sebagai kaum minoritas, saya mengalami
apa yang dialami teman non-muslim saya. Rekan-rekan kantor, tanpa sengaja/bisa
saja sengaja, menyinggung agama saya, saya hanya diam, dan berlalu pergi. Tak perlu
beradu pendapat sementara setiap harinya kami bakal selalu bertemu. Saya
biasanya pura-pura tidak dengar.
Ini hanyalah salah satu potret realita “menjadi
minoritas”.