“Mencari itu mudah, tapi menemukan yang
cocok itu yang susah.” Kamu berkata demikian ketika aku bertanya kenapa aku? Kenapa bisa?
Barangkali ketika kamu mengucapkan itu
kamu sedang membicarakan dirimu sendiri di masa lalu. Bersama
perempuan-perempuan sebelum aku yang menjadikanmu berpikir seperti itu.
Dan karena tidak menemukan alasan untuk
menolakmu, aku mengiyakan, mengizinkamu masuk dalam hidupku. Saat itu aku hanya
ingin menemukan jawaban.
Lalu di saat lain aku datang kepadamu
dengan membawa berita bahwa aku mungkin akan pergi meninggalkanmu. Mutasi. Barangkali
luar jawa. Barangkali.
Hidupku yang dipenuhi dengan barangkali. Sudah
berapa banyak laki-laki yang menyerah dan aku tidak berharap kamu untuk
bertahan. Aku bisa memahami kalau kamu seperti yang lainnya. Bukan hal yang
mudah berurusan denganku.
“Lalu apa masalahnya?” kamu bertanya.
“Lalu kita gimana?“ aku kembali bertanya.
“Hubungan kita? Aku nggak melihat adanya
masalah. Kalau kamu memang ditempatkan di luar Jawa, memangnya kenapa?” jawabmu
dengan nada sedikit kesal.
Aku diam saja, mendengar suara angin yang
menerpa wajahku.
“Kamu mau kita gimana? Kalau aku mau terus
lanjut. Sekarang aku tanya apa maumu?“
Bagaimana mungkin kamu sebegitu yakin sementara aku tidak?
Tapi akan sangat jahat jika dengan jujur saat
itu aku berkata aku ingin semuanya berakhir jika memang aku harus pergi.
Sebegitu saja.
Kamu bilang aku nggak boleh berpikir aku bisa
hidup tanpa lelaki.
Aku bilang aku telah melewatkan dua puluh
lima tahun hidupku tanpa kehadiran laki-laki di saat-saat terburukku. Toh aku
bertahan hidup sampai hari ini. Aku sudah pada batas di mana aku menyadari
bahwa perempuan bisa terus hidup tanpa eksistensi laki-laki. Setidaknya aku jenis perempuan yang seperti
itu. Entah dengan perempuan-perempuan lainnya di luar sana. Yang rela menyembah
dan mendewakan lelaki. Entah dengan jalan berpikir mereka. Itu bukan urusanku.
Sebagaimana cara berpikirku yang juga bukan
urusan mereka.
Kamu diam saja.
Aku juga diam.
Tanganmu meraih tanganku, menggenggamnya, dan
berkata, “Jangan pergi. Aku sulit menemukan yang seperti kamu.”
Aku tidak berani menatapmu. Karena aku tidak berani menjanjikan apapun. Petang hari itu aku
membiarkanmu menggenggam tanganku karena aku berpikir itu adalah terakhir
kalinya. Itu adalah sebuah perpisahan. Aku tetap berpikir atas kemugkinan meninggalkanmu.
Aku berkata padamu di lain kesempatan
bahwa barangkali kamu tidak benar-benar menyukaiku. Barangkali kamu hanya
menyukai apa yang telah kamu dapatkan. Aku hanya bagian dari pencapaianmu.
Barangkali kamu menyukai eforia ketika teman-temanmu menyebutku begini dan
begitu.
Ketika masa-masa itu berlalu dan ternyata
aku tetap di sini. Bersamamu. Aku baru
menyadari betapa mengerikannya pemikiran pemikiran itu. Betapa mudahnya aku
melepaskanmu. Betapa aku sudah tidak mampu lagi memercayai siapapun. Betapa seharusnya
aku merasa beruntung atas kehadiranmu.
“Jangan menyerah semudah itu. Kamu seharusnya
nggak menyerah semudah itu. Kalau aku berusaha kamu harusnya juga begitu.“
from visualizeus |
Saat itu dari seberang telepon aku menangis. Entah
kamu tahu atau tidak.